Senin, 09 Februari 2009

lingkungan alam ke-10

Refleksi Hari Lingkungan Hidup Indonesia - 10 Januari Lingkungan Hidup dan Kesadaran Kita


Oleh : Hendrizal SIP

Beberapa waktu lalu diperingatkan, sejumlah pulau kecil di Indonesia diprediksi akan hilang pada 30 tahun mendatang akibat pemanasan global.

Kondisi alam, terutama laut, cukup mengkhawatirkan dengan naiknya suhu pemanasan global setiap tahun. Apalagi selama ini pulau-pulau kecil di Indonesia kurang terpelihara.
Demikian disampaikan Gubernur Sulawesi Utara, SH Sarundajang, sepulang mengikuti pertemuan menteri lingkungan hidup di Nairobi, Kenya. Pertemuan yang diprakarsai United Nation Environmental Program (UNEP), salah satu badan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), itu diikuti perwakilan 140 negara. Sarundajang hadir di pertemuan itu mendampingi Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang menjadi ketua dari pertemuan para menteri lingkungan hidup.

Dalam pertemuan itu, salah seorang pakar lingkungan India, Rajendra Pachauri, mengatakan, pemanasan global setiap tahun menaikkan permukaan laut yang berdampak tenggelamnya pulau-pulau kecil di dunia, termasuk di Indonesia. Pemanasan global juga berdampak pada jadwal tanam, pola tanam, serta hasil pertanian dan kehutanan secara besar-besaran. Fenomena itu sesungguhnya sudah dirasakan sebagian masyarakat Indonesia dengan terjadinya banjir akibat hujan tak beraturan.

Bangsa kita juga tampak tak sadar dengan peringatan ahli biologi Garrett Hardin dalam buku ‘Analyzing Social Problem, In the Environment as Social Issue’ (1994). Hardin mengemukakan, masalah lingkungan hidup bisa menjadi tragedy of the commons bila kita merasa bebas mengeksploitasinya. Ia menyatakan, ‘Kehancuran adalah satu-satunya tujuan yang dituju ketika semua orang yang berupaya keras mencapai kepentingannya dalam masyarakat percaya adanya kebebasan bagi semua orang. Kebebasan untuk menggunakan alam pada semua orang hanya akan membawa kau pada malapetaka’.

Tampaknya peringatan Hardin itu telah menimpa bangsa kita, seperti terjadinya banjir, banjir bandang, air bah, tanah longsor di berbagai daerah Nusantara. Di Jakarta, misalnya, banjir akbar yang telah meluluhlantakkan kota metropolitan ini pernah hampir membuat Jakarta menjadi kota mati suri. Banyak permukiman, perkantoran dan pusat bisnis terjebak dalam banjir. Infrastruktur publik seperti media telekomunikasi, transportasi dan listrik nyaris lumpuh.

Beberapa pakar lingkungan sesungguhnya telah mengingatkan, banjir bandang di Jakarta akan terjadi kalau para pelaku ekonomi tetap mengeksploitasi lingkungan dengan serampangan. Pendirian massal permukiman dan villa di daerah penyangga banjir seperti Bogor dan pembukaan area industri, perumahan dan pusat bisnis di daerah resapan air sekitar Bekasi, Tangerang dan Banten ditengarai sebagai penyebab meluapnya air di seantero Jakarta. Parahnya, nafsu investasi ini tak diiringi perluasan dan pendalaman aliran sungai.

Sebaliknya, terjadi pendirian pemukiman kumuh di bantaran kali yang juga memunculkan perilaku pembuangan sampah di sepanjang sungai. Hasilnya, air tumpah di mana-mana.
Kasus banjir yang menghantam wilayah-wilayah padat manusia di kawasan urban serta rural pun tak dapat lagi dipahami sederhana sebagai bencana, disaster atau katastrofa yang semata ditimbulkan alam. Situasi tragis itu pun mesti dipahami secara kolektif sebagai kesalahan umat manusia yang amat bercorak teknokratis. Singkatnya, kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.

Tapi apa yang salah dengan ulah manusia? Sesungguhnya tidaklah mudah menjawabnya. Pertanyaan ini merefleksikan kompleksitas persoalan lingkungan. Para ahli sudah berbicara banyak tentang kesalahan pandangan dunia (world view) manusia di masa kini, sehingga terjadi pemerkosaan brutal terhadap lingkungan cuma untuk mewujudkan ambisi ekonomi dan politik. Logika instrumental dengan berbagai formatnya dirancang untuk mendukung brutalitas ekonomi dan politik itu. Celakanya, individu dan berbagai institusi terus-menerus memandang semua SDA sebagai benda tak bertuan yang bisa dieksploitasi bebas, kapan dan oleh siapa saja. Kenyataan inilah yang bisa menjelaskan mengapa degradasi lingkungan bisa sampai ke titik nadir di berbagai penjuru bumi, termasuk di negeri kita, akibat beroperasinya aktivitas industri selama satu generasi.

Perilaku tadi lahir karena kita kurang sadar pentingnya nilai ekonomi lingkungan. Bangsa kita hanya terus-menerus menghitung nilai ekonomi investasi tanpa mau tahu kerusakan yang akan ditimbulkannya. Irantoto Handadhan (2004) telah mendeskripsikan nilai ekonomi lingkungan sebagai kuantifikasi berapa nilai rupiah kerusakan lingkungan karena kegiatan pembangunan, berapa rupiah yang dibutuhkan untuk memperbaikinya, dan berapa nilai kemanfaatan ekonomi jika lingkungan itu dijaga atau diperbaiki.

Sedemikian pentingnya nilai ekonomi lingkungan telah menarik perhatian para auditor pada 2001 seperti Irawan. Auditor BPK RI ini mengembangkan penerapan environmental costing di Indonesia yaitu penentuan biaya lingkungan secara detail sesuai konsep akuntansi. Pakar lingkungan seperti Prof Emil Salim bahkan memperhatikan tidak cuma kerusakan lingkungan tapi juga dampak gangguan sosial yang terjadi akibat suatu proyek seperti konflik lahan antara investor dengan masyarakat sekitar.

Prof Hasyim Djalal dalam acara diskusi di The Habibie Center yang disiarkan QTV (15-5-2007) menginformasikan, biaya untuk merehabilitasi Pulau Nipah yang banyak dikeruk pasirnya untuk diekspor ke Singapura bisa mencapai Rp 250 miliar. Sementara pendapatan pemerintahan daerah di sana hanya Rp 8 miliar setahun dari ekspor pasir tersebut. Ini tentu hanya membuat kerugian yang besar bagi negara kita. Apalagi kalau sampai pulau itu tenggelam gara-gara dieksploitasi pasirnya, maka batas negara kita akan bergeser ke dalam, menciut.

Pembangunan Padang Golf

Polemik kasus lingkungan pembangunan padang golf dan agrowisata di Puncak pada 1993 juga perlu menjadi bahan renungan. Pembangunan lahan 700 hektare yang menjanjikan pajak Rp 4 miliar setahun tersebut akhirnya harus diperbandingkan dengan nilai kerusakan lingkungan berupa menurunnya hasil air yang menurut perhitungan teknis mencapai sekitar 5 juta meter kubik setahun, erosi tanah 211 ton per hektar per tahun, limpasan run off 18 juta meter kubik setahun yang merusak dan memperbesar bahaya banjir di Jakarta yang saat ini terjadi. Kerusakan material akibat banjir di Jakarta mencapai triliunan rupiah serta aktivitas perdagangan, pendidikan dan pemerintahan sontak terhenti.

Begitu pula air tanah yang hilang karena keringnya sumber mata air. Kalau dikomersialkan sebagai air mineral dengan nilai serendah Rp 100 per liter pada waktu itu bisa bernilai Rp 500 miliar per tahun dengan asumsi di daerah puncak terdapat beberapa sumber mata air yang diperkirakan mengalir dengan debit 4.280.000 m3. Alhasil, proyek itu malah hanya menjadi kerugian nilai lingkungan yang amat besar, jauh melampaui nilai pajak yang dihasilkannya. Tapi kerugian lingkungan itu tak pernah diungkapkan dalam rupiah lantaran silau dengan keuntungan investasi.

Apakah pernah diperhitungkan dampak kerusakan lingkungan akibat pembangunan jalan tol Jagorawi yang oleh pemerintah dan investor dikatakan amat menguntungkan. Kini kita baru sadar, jalan itu sudah memacu kerusakan lingkungan Bogor-Puncak-Cianjur yang mengganggu area pertanian dan peresapan air. Akibat hujan deras beberapa hari saja, longsor dan peretakan tanah terjadi di jalur tersebut yang ditengarai juga membuat banjir datang begitu cepat menenggelamkan sebagian kota metropolis.

Mengingat itu, kesadaran pentingnya environmental governance perlu menjadi renungan. Teguh Kurniawan, peneliti Center for Indonesia Regional and Urban Studies (CIRUS), mengatakan environmental governance adalah nilai-nilai dan norma yang memandu hubungan antara negara-masyarakat dalam penggunaan, pengawasan dan manajemen dari lingkungan alam sehingga tingkah laku publik dan swasta berorientasi ekologis. Bagus lagi kalau investasi diletakkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yaitu mengaitkan kebijakan ekonomi dengan aspek lingkungan dan sosial.

Implementasi environmental governance bisa dilakukan lewat 3 tahapan: (a) Menyadarkan aktor utama dan aktor potensial pembuat kebijakan untuk peduli pentingnya isu-isu lingkungan sebagai agenda politik. (b) Membentuk mekanisme agar pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) menggunakan kewenangan terhadap SDA secara bijak, transparan, akuntabel, representatif dan partisipatif.

(c) Membentuk suatu mekanisme efektif supaya kebijakan lingkungan dapat berjalan konsisten serta menjamin hak dan kesejahteraan rakyat. Singkatnya, perilaku bersahabat dengan lingkungan bisa terinternalisasi dalam pembuatan dan implementasi setiap kebijakan publik berikut penegakkan hukumnya pada semua warga.

Sebelum terlanjur hancur, kita perlu bercermin dari kasus Minamata di Jepang di mana lingkungan tercemar akibat pendirian banyak pabrik tahun 1970. Bencana ini sudah menyadarkan akan urgensi memelihara lingkungan hidup bagi segenap elemen bangsa Jepang, baikpemerintah, pengusaha, masyarakat dan ilmuwan. Jadi bukannya malah mengeksploitasi SDA dan lingkungan hidup secara maksimal.

Mudah-mudahan itu bisa menyadarkan kita: alam ini merupakan suatu yang ‘hidup’ dengan nilai ekonomi luar biasa. Manusia harus bergaul dengan alam secara bijak supaya mendapat kemanfaatan SDA dan lingkungan hidup secara positif dan konstruktif. Bukannya destruktif seperti yang kita lakukan selama ini. Sadarlah!***

Penulis dalah peneliti Pusat Studi Egalite (Puste) Tapsel Sumut, mahasiswa Pascasarjana S2 PIPS UPY, hendri1974@yahoo.com

Tanam Pohon untuk Tanggulangi Krisis Lingkungan



Boyolali (ANTARA News) - Krisis lingkungan hidup bisa ditanggulangi dengan cara penanaman pohon sebanyak-banyaknya, karena pohon bisa menjadikan udara bersih dan mampu menyimpan air.

Hal tersebut dikatakan Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, disela-sela acara ulang tahun ke-50 Gapensi penanaman lima juta pohon di 450 kabupaten/kota di 33 provinsi di Indonesia yang di pusatkan di Kompleks Wisata Tlatar, Boyolali, Jawa Tengah, Jumat.

Acara dengan tema Pembangunan Berwawasan Lingkungan tersebut juga dihadiri Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto, Bupati Boyolali, Sri Moeljanto dan pejabat Mupida, Duta Lingkungan Hidup, Shafa Tasya Kamila atau Tasya.

Lebih lanjut Rachmat Witoelar mengatakan, apa yang paling terpenting di dunia ini, yakni udara dan air. Jika udara dan air bersih, maka kehidupan manusia akan sehat.

"Bagaimana kita bisa mempertaruhkan udara bisa bersih dan air masih tetap lestari serta mendukung negara dalam kehidupan masyarakat ini, katanya.

Menurut Rachmat Witoelar, yakni dengan penanam pohon itu yang paling baik, karena pohon itu mempunyai fungsi banyak di antaranya, bisa membersihkan udara dan menyimpan air atau tata air.

Indonesia mempunyai posisi yang setrategis dalam konteks dunia untuk membersihkan udara yang sekarang terancam mengalami perubahan iklim dengan penanaman pohon tersebut.

Rachmat Witoelar mengatakan, dari prospektip dunia, hutan tersebut diperlukannya, maka dana internasional mau menyediakan yang besar tak terhingga untuk dilimpahkan kepada negara-negara seperti Indonesia.

"Yakni, negara tropis yang bisa menanaman pohon banyak, karena pohon itu yang bisa melestarikan udara dan air," katanya.

Perubahan udara, kata dia, merupakan acaman dunia di dalam perubahan iklim atau emergensi adalah perubahan struktur daripada udara dimana dunia ini akan terjadi melapetakan besar termasuk kenaikan dari pada permukaan air laut.

Penanaman pohon itu, di negara yang sudah maju, mereka banyak kota besar dan sempit lahannya sehingga tidak bisa menanam seperti di negara Indonesia.

"Lahan kita cukup luas. Menurut Menteri Kehutanan, lahan luas masih bisa menanam lebih dari 18 juta hektare," katanya.(Ant

lingkungan alam ke-9

Hujan di Semarang Masih Akan Berlanjut



Semarang (ANTARA News) - Hujan diprakirakan masih mengguyur di Kota Semarang dua hingga tiga hari ke depan dengan intensitas curah hujan pada umumnya ringan sampai dengan sedang.

Prakirawan Stasiun Meteorologi A. Yani Semarang, Sukarno di Semarang, Minggu, mengatakan, kemungkinan terjadinya hujan di Kota Semarang itu bisa pada pagi, siang, sore, dan malam hari, tetapi potensinya pada sore atau malam hari.

Ia mengatakan, sekarang ini masih dalam musim hujan sehingga hujan juga masih berlanjut, curah hujannya bisa ringan, sedang, dan kemungkinan lebat seperti yang terjadi Sabtu malam (7/2) hingga Minggu pagi (8/2).

Akibat hujan deras yang mengguyur Kota Semarang pada hari Sabtu malam hingga hari Minggu ini, beberapa wilayah di kota ini kebanjiran.

Menurut dia, curah hujan yang terjadi di Kota Semarang selama hari Sabtu (7/2) mulai pukul 07.00 WIB hingga hari Minggu (8/2) pukul 07.00 WIB tercatat 230,5 mm per hari.

Curah hujan pada hari Sabtu hingga Minggu pagi di Kota Semarang tersebut, kata dia, termasuk dalam intensitas hujan sangat lebat karena lebih dari 100 mm per hari.

Ia menjelaskan, hujan ringan apabila curah hujan yang terjadi berkisar antara 5 - 20 mm per hari, hujan sedang jika curah hujannya antara 20 - 50 mm per hari, dan hujan lebat jika curah hujannya antara 50 - 100 mm per hari.

Apabila intensitas curah hujan yang terjadi itu lebih dari 100 mm per hari, maka dapat dikatakan hujannya sangat lebat, seperti yang terjadi di Kota Semarang pada hari Sabtu (7/2) hingga Minggu (8/2), katanya.

Mengingat sekarang ini masih dalam musim hujan dan juga masih terjadi hujan, ia mengimbau, masyarakat agar tetap waspada terutama di daerah rawan banjir dan tanah longsor, kemungkinan terjadinya hujan itu dapat mengakibatkan banjir atau tanah longsor.

Mengenai angin kencang sekarang ini memang ada dan juga perlu diwaspadai, tetapi yang lebih kencang biasanya pada musim pancaroba atau peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, katanya.(*)

lingkungan alam ke-8

Ekosistem Lingkungan Indonesia Tidak Seimbang



Pasuruan (ANTARA News) - Menteri Kehutanan MS Kaban di Pasuruan, Jatim,Minggu (8/2) mengungkapkan, ekosistem lingkungan Indonesia kini dalam kondisi tidak imbang.
Sekitar 30 juta hektar hutan Indonesia kini kritis, sedangkan yang ditanami baru sekitar 2,1 juta hektar atau sekitar 10%-nya.

"Penanam hutan kritis seluas sekitar 2,1 juta hektar itupun membutuhkan waktu sekitar 5 tahun," kata MS Kaban.

Dengan demikian, untuk menanami kembali sisa hutan kritis yang masih sekitar 27 juta hektar dibutuhkan kerja keras semua fihak.

"Kita masih perlu kerja keras dengan melibatkan masyarakat," kata MS Kaban.

Ia menegaskan, gerakan penanaman kembali hutan kritis bukan semata tgas pemerintah semataa, tapi juga tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat.

MS kaban juga menagungkapkan, kerusakan lingkungan mengakibatkan banjir dan longsor pada musim hujan, serta kekertingan pada musim kemarau.

Untuk mengembalikan ekosistem lingkungan, lanjut Kaban, dibutuhkan penanganan secara menyuluruh oleh semua fihak baik mulai kawasan hulu hingga kawasan hilir.

MS Kaban juga mengungkapkan, untuk mengembalikan ekosistem yang seimbang diperlukan upaya membangun
keasadaran masyarakat.Bahwa pemabngunan lingkungan adalah tugas kita semua,? kata MS Kaban.
Kedasaran masyarakat itu, kata Kaban, adalah melakukan gerakan menanam pohon di semua tempat.

Diakui gerakan menanam pohon tidak bisa segera dinikmati secara instan, tapi butuh proses waktu, tapi yang pasti langkah yang dilakukannya tersebut akan membawa hasil di masa depan.

MS Kaban di Pasuruan menanam pohon durian di kompleks Pondok Pesantren As Sholach Kejeron, Bayeman, Gondangwetan, Pasuruan.
(*)

lingkungan alam ke-7

Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (Bagai Dua Sisi Mata Uang)



"Dalam pengelolaan sumber daya alam ini benang merahnya yang utama adalah mencegah timbulnya pengaruh negatif terhadap lingkungan dan mengusahakan kelestarian sumber daya alam agar bisa digunakan terus menerus untuk generasi-generasi di masa depan."Membahas tentang sumber daya alam, dapat kita bagi ke dalam dua kategori besar, yakni sumber daya alam yang bisa diperbaharui (seperti hutan, perikanan dan lain-lain). Dan sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui, seperti, minyak bumi, batubara, timah, gas alam dan hasil tambang lainnya. Dalam tulisan ini akan kita kaji sumber daya alam berupa hasil tambang dan itu tidak dapat diperbaharui. Membicarakan hasil tambang, tentu timah merupakan salah satunya.

Apalagi timah sangat identik dari sebuah ciri khas sebuah propinsi yang bernama Bangka Belitung. Siapa yang tidak kenal negeri kita jika kita katakan merupakan salah satu pulau penghasil timah di republik ini. Namun, berbicara tentang pengelolaan hasil tambang berupa timah itu sendiri, rasanya sangat malu melihat bagaimana permukaan negeri ini yang telah hancur dan membentuk kolong-kolong kecil sehingga membentuk seperti sebuah danau-danau kecil. Apalagi butuh cost yang sangat mahal untuk reklamasi lahan minimal mengurangi dampak buruk pada masa yang akan datang. Siapa yang akan disalahkan? Bukan pertanyaan itu yang mesti kita jawab.

Tapi, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi dan apa yang mesti kita perbuat untuk memberikan solusi yang terbaik untuk kelestarian sebuah lingkungan hidup. Mungkin, jika dikaitkan dengan kemiskinan dan bagaimana masyarakat harus berpikir untuk mengenyangkan “perut” hal inilah mungkin yang menjadi sebab utama mendorong penduduk menguras alam sehingga merusak lingkungan. Jika kita amati bahwa dapat kita katakan ada hubungan antara jumlah dan macamnya sumber daya alam dengan produk bagi konsumsi masyarakat. Hubungan tersebut terlihat bahwa semakin besar pola konsumsi masyarakat maka semakin banyak pula sumber daya alam yang akan dikelola dan semakin beraneka ragam pola konsumsi masyarakat, maka semakin bermacam pula sumber daya alam yang akan dikelola.

Dari permasalahan tersebut di atas, dapat kita telaah dan mungkin harus menjadi pertanyaan bagi kita, mengapa hal seperti itu bisa terjadi? Jawabannya tentu ada pada diri kita masing-masing untuk lebih bersikap arif terhadap lingkungan sebelum lingkungan itu sendiri yang memberitahu kepada kita bahwa setiap bencana alam yang terjadi adalah karena ulah tangan manusia itu sendiri. Kita amati bagaimana sebuah bencana banjir yang terjadi di Aceh & Sumatera Utara yang diakibatkan penggundulan Taman Nasional, Gunung Leuser, Alikodra (7/12/2006) atau di negeri Serumpun Sebalai sendiri, beberapa minggu terakhir terjadinya banjir yang menggenangi daerah Semabung, Pangkalpinang akibat tidak ada lagi yang menjadi penyerap air di daerah sekitarnya. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kawasan hutan memiliki kemampuan dalam mengatur tata air, mencegah erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah.

Berbicara sumber daya alam tentu tak lepas dari peran sebuah teknologi tepat guna untuk sebuah kelestarian lingkungan. Untuk itu, pengusaha harus dapat memilih teknologi dan cara produksi yang bisa memperkecil dampak negatif dari kepada lingkungan. Apalagi jika kita lihat kebijakan penataan ruang daerah dilakukan dengan tujuan untuk mampu menciptakan pemanfaatan ruang wilayah yang berimbang, optimal dan berwawasan lingkungan untuk kepentingan masyarakat luas. Kita tidak dapat menutup mata, bagaimana pemanfaatan teknologi berupa alat berat pada sektor pertambangan, yang secara seporadis membabat habis hutan untuk mencari hasil tambang yang terkadang hasilnya nihil atau 0%. Kepada siapa kita akan bertanggung jawab? Pikirkan apa yang dapat kita tinggalkan untuk generasi mendatang dan apa yang dapat kita katakan kepada mereka. Atau lingkungan hidup yang seperti inikah yang akan kita wariskan kepada mereka?

Akhir dari sebuah permasalahan, tentu akan tuntas dengan adanya solusi-solusi yang mungkin akan ada tindak lanjut ke depannya. Pertama, pemerintah harus lebih giat dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya peranan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia melalui pendidikan dalam dan luar sekolah. Kedua, perlunya inventarisasi dan Evaluasi potensi SDA dan lingkungan hidup. Ketiga, meningkatkan penelitian dan pengembangan potensi manfaat hutan terutama untuk pengembangan pertanian, industri dan kesehatan. Keempat, penyediaan Infra Struktur dan Spasial SDA dan Lingkungan Hidup baik di darat, laut maupun udara. Kelima, Perlunya persyaratan AMDAL terhadap usaha-usaha yang mengarah pada keseimbangan hidup. Terakhir, perlunya penyuluhan dan kerjasama kemitraan antara Lembaga Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup dan SDA serta perlunya peningkatan kemampuan Institusi dan SDM Aparatur Pengelolaan SDA dan LH. Karena pembangunan yang baik adalah yang berwawasan lingkungan walaupun terkadang dengan kemungkinan kerusakan untuk ditimbang dan dinilai manfaat untung ruginya dan diambil keputusan dengan penuh tanggung jawab kepada generasi mendatang. Karena generasi yang akan datang, tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan sekarang dalam menentukan penggunaan sumber daya alam yang sebenarnya kita hanya meminjami dari mereka untuk pembangunan masa kini dengan dampak pembangunan di masa nanti!

Written By : Darus Altin
Dosen Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung
Dikirim oleh Admin
Tanggal 2008-09-12
Jam 18:27:01

Kamis, 05 Februari 2009

LINGKUNGAN ALAM KE-6

PEMANFAATAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

PEMANFAATAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR UNTUK ANAK USIA DINI">PEMANFAATAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR UNTUK ANAK USIA DINI

Peran guru sebagai fasilitator dalam pelaksanaan pendidikan untuk anak usia dini harus mampu memberikan kemudahan kepada anak untuk mempelajari berbagai hal yang terdapat dalam lingkungannya.

Seperti kita ketahui bahwa anak usia dini memiliki rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu serta memliki sikap berpetualang serta minat yang kuat untuk mengobservasi lingkungan. Ia memiliki sikap petualang yang kuat. Pengenalan terhadap lingkungan di sekitarnya merupakan pengalaman yang positif untuk mengmbangkan minat keilmuan anak usia dini.

Pada bab ini akan dikaji beberapa hal yang berkaitan dengan pentingnya pemanfaatan sumber belajar lingkungan untuk anak usia dini yang diawali dngan pembahasan mengenai pengertian lingkungan itu sendiri, dilanjutkan dengan penjelasan tentang nilai-nilai lingkungan, jenis lingkungan, teknik menggunakan lingkungan dan prosedur pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar untuk anak usia dini.

  1. Pengertian Lingkungan Sebagai Sumber Belajar

Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah. Manusia merupakan salah satu anggota di dalam lingkungan hidup yang berperan penting dalam kelangsungan jalinan hubungan yang terdapat dalam sistem tersebut.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) lingkungan diartikan sebgai bulatn yang melingkungi (melingkari). Pengertian lainnya yaitu sekalian yang terlingkung di suatu daerah. Dalam kamus Bahasa Inggris peristilahan lingkungan ini cukup beragam diantaranya ada istilah circle, area, surroundings, sphere, domain, range, dan environment, yang artinya kurang lebih berkaitan dengan keadaan atau segala sesuatu yang ada di sekitar atau sekeliling.

Dalam literatur lain disebutkan bahwa lingkungan itu merupakan kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur biotik (makhluk hidup), abiotik (benda mati) dan budaya manusia.

  1. Nilai-Nilai Lingkungan sebagai Sumber Belajar

Lingkungan yang ada di sekitar anak merupakan salah satu sumber belajar yang dapat dioptimalkan untuk pencapaian proses dan hasil pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini.

    1. Lingkungan menyediakan berbagai hal yang dapat dipelajari anak

Jumlah sumber belajar yang tersedia di lingkungan ini tidaklah terbatas, sekalipun pada umumnya tidak dirancang secara sengaja untuk kepentingan pendidikan. Sumber belajar lingkungan ini akan semakin memperkaya wawasan dan pengetahuan anak karena mereka belajar tidak terbatas oleh empat dinding kelas. Selain itu kebenarannya lebih akurat, sebab anak dapat mengalami secara langsung dan dapat mengoptimalkan potensi panca inderanya untuk berkomunikasi dengan lingkungan tersebut.

    1. Penggunaan lingkungan memungkinkan terjadinya proses belajar yang lebih bermakna (meaningfull learning) sebab anak dihadapkan dengan keadaan dan situasi yang sebenarnya. Hal ini akan memenuhi prinsip kekonkritan dalam belajar sebagai salah satu prinsip pendidikan anak usia dini.

    2. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.

    3. Penggunaan lingkungan dapat menarik bagi anak

Kegiatan belajar dimungkinkan akan lebih menarik bagi anak sebab lingkungan menyediakan sumber belajar yang sangat beragam dan banyak pilihan. Kegemaran belajar sejak usia dini merupakan modal dasar yang sangat diperlukan dalam rangka penyiapan masyarakat belajar (learning societes) dan sumber daya manusia di masa mendatang.

    1. Pemanfaatan lingkungan menumbuhkan aktivitas belajar anak (learning activities) yang lebih meningkat.

Penggunaan cara atau metode yang bervariasi ini merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam pendidikan untuk anak usia dini.

Begitu banyaknya nilai dan manfaat yang dapat diraih dari lingkungan sebagai sumber belajar dalam pendidikan anak usia dini bahkan hampir semua tema kegiatan dapat dipelajari dari lingkungan. Namun demikian diperlukan adanya kreativitas dan jiwa inovatif dari para guru untuk dapat memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.

Lingkungan merupakan sumber belajar yang kaya dan menarik untuk anak-anak. Lingkungan mana pun bisa menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak.

Jika pada saat belajar di kelas anak diperkenalkan oleh guru mengenai binatang, dengan memanfaatkan lingkungan anak akan dapat memperoleh pengalaman yang lebih banyak lagi. Dalam pemanfaatan lingkungan tersebut guru dapat membawa kegiatan-kegiatan yang biasanya dilakukan di dalam ruangan kelas ke alam terbuka dalam hal ini lingkungan. Namun jika guru menceritakan kisah tersebut di dalam ruangan kelas, nuansa yang terjadi di dalam kelas tidak akan sealamiah seperti halnya jika guru mengajak anak untuk memanfaatkan lingkungan.

Memanfaatkan lingkungan sekitar dengan membawa anak-anak untuk mengamati lingkungan akan menambah keseimbangan dalam kegiatan belajar. Artinya belajr tidak hanya terjadi di ruangan kelas namun juga di luar ruangan kelas dalam hal ini lingkungan sebagai sumber belajar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik, keterampilan sosial, dan budaya, perkembangan emosional serta intelektual.

Perkembangan Fisik

Lingkungan sangat berperan dalam merangsang pertumbuhan fisik anak, untuk mengembangkan otot-ototnya. Anak memiliki kesempatan yang alami untuk berlari-lari, melompat, berkejar-kejaran dengan temannya dan menggerakkan tubuhnya dengna cara-cara yang tidak terbatas. Kegiatan ini sangat alami dan sangat bermanfaat dalam mengembangkan aspek fisik anak.

Dengan pemanfaatan lingkungan sebagai sumber beajarnya, anak-anak menjadi tahu bagaimana tubuh mereka bekerja dan merasakan bagaimana rasanya pada saat mereka memanjat pohon tertentu, berayun-ayun, merangkak melalui sebuah terowongan atau berguling di dedaunan.

Perkembangan aspek keterampilan sosial

Lingkungan secara alami mendorong anak untuk berinteraksi dengan anak-anak yang lain bahkan dengan orang-orang dewasa. Pada saat anak mengamati objek-objek tertentu yang ada di lingkungan pasti dia ingin mencritakan hasil penemuannya dengan yang lain. Supaya penemuannya diketahui oleh teman-temnannya anak tersebut mencoba mendekati anak yang lain sehinga terjadilah proses interaksi/hubungan yang harmonis.

Anak-anak dapat membangun kterampilan sosialnya ketika mereka membuat perjanjian dengan teman-temannya untuk bergantian dalam menggunakan alat-alat tertentu pada saat mereka memainkan objek-objek yang ada di lingkungan tertentu. Melalui kegiatan sepeti ini anak berteman dan saling menikmati suasana yang santai dan menyenangkan.

Perkembangan aspek emosi

Lingkungan pada umumnya memberikan tantangan untuk dilalui oleh anak-anak. Pemanfaatannya akan memungkinkan anak untuk mengembangkan rasa percaya diri yang positif. Misalnya bila anak diajak ke sebuah taman yang terdapat beberapa pohon yang memungkinkan untuk mereka panjat. Dengan memanjat pohon tersebut anak mengembangkan aspek keberaniannya sebagai bagian dari pengembangan aspek emosinya.

Rasa percaya diri yang dimiliki oleh anak terhadap dirinya sendiri dan orang lain dikembangkan melalui pengalaman hidup yang nyata. Lingkungan sendiri menyediakan fasilitas bagi anak untuk mendapatkan pengalaman hidup yang nyata.

Perkembangan intelektual

Anak-anak belajar melalui interaksi langsung dengan benda-benda atau ide-ide. Lingkungan menawarkan kepada guru kesempatan untuk menguatkan kembali konsep-konsep seperti warna, angka, bentuk dan ukuran.

Memanfaatkan lingkungan pada dasarnya adalah menjelaskan konsep-konsep tertentu secara alami. Konsep warna yang diketahui dan dipahami anak di dalam kelas tentunya akan semakin nyata apabila guru mengarahkan anak-anak untuk melihat konsep warna secara nyata yang ada pada lingkungan sekitar.

Demikian beberapa hal yang berkaitan dengan dampak pemanfaatan lingkungan terhadap aspek-aspek perkembangan anak. Namun guru juga harus memiliki pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dalam mengembangkan pembelajaran anak dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajarnya. Adapun sumber belajar itu antara lain :

  • Mengamati apa yang menarik bagi anak

Biasanya anak serius jika menemukan sesuatu yang sangat menarik baginya. Bila guru melihat hal ini berilah bimbingan kepada anak dengan cara menayakan apa yang sedang diamatinya.

Manfaat yang bisa diambil dari kegiatan ini adalah anak dapat mengmbangkan kemampuan intelektualnya dengan mengetahui berbagai benda yang diamatinya. Selain itu juga anak akan dapat mengembangkan ketrampilan sosialnya yaitu dengan mengembangkan kemampuannya dengan berinteraksi dengan orang dewasa dalam hal ini guru.

Upaya guru dengan mengamati apa yang menarik bagi anak juga akan dapat mengembangkan emosi anak misalnya pada saat anak mengungkapkan hal-hal yang menarik baginya, dia menunjukkan ekspresi yang serius dan pandangan mata yang tajam. Kemampuan berbahsa anak juga akan semakin meningkat jika guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mengungkapkan berbahasa anak, kosa katanya akan berkembang.

  • Perhatikan dan gunakan saat yang tepat untuk mengajar

Memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar sebenarnya memberikan berbagai alternatif pendekatan dalam membelajarkan anak. Hal tersebut disebabkan alternatif dan pilihan sumber belajarnya sangat banyak. Dengan memanfaatkan lingkungan kegiatan belajar akan lebih berpusat pada anak.

  • Tanyalah anak dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka.

Memberikan pertanyaan kepada anak-anak mendorong mereka untuk menjelaskan mengenai berbagai hal yang mereka alami dan mereka lihat.

Pertanyaan yang bersifat terbuka akan memacu anak untuk mengungkap berbagai hal yang diamatinya secara bebas sesuai dengan kemampuan berbahasanya.

  • Gunakan kosa kata yang beragam untuk menjelaskan hal-hal baru

Anak-anak terkadang mengalami kekurangan perbendaharaan kata untuk menjelaskan apa yang mereka lihat. Keterbatasan kosa kata yang terjadi pada anak harus dibantu oleh guru sehingga tahap demi tahap kemampuan berbahasa dan perbendaharaan kosa katanya akan semakin meningkat.

  • Cobalah berskap lebih ingin tahu

Guru-guru tidak selamanya mengetahui jawaban-jawaban atas peertanyaan anak-anak. Guru yang mengetahui berbagai hal akan menumbuhkan keperecayaan anak kepadanya. Anak merasa memiliki orang yang dapat dijadikannya tempat bertanya mengenai hal-hal yang tidak dapat mereka pecahkan. Anak akan memiliki keyakinan yang tinggi kepada guru yang mau membantunya dalam segala hal. Sebaliknya jika guru tidak mengetahui banyak hal akan menimbulkan ketidakyakinan kepadanya karena setiap mereka menanyakn sesuatu anak tidak mendapatkan jawaban yang jelas dan memuaskan.

  1. Jenis-Jenis Lingkungan Sebagai Sumber Belajar

Pada dasarnya semua jenis lingkungan yang ada di sekitar anak dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sepanjang relevan dengan komptensi dasar dan hasil belajar yang bisa berupa lingkungan alam atau lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan budaya atau buatan.

    1. Lingkungan alam

Lingkungan alam atau lingkungan fisik adalah segala sesuatu yang sifatnya alamiah, seperti sumber daya alam (air, hutan, tanah, batu-batuan), tumbuh-tumbuhan dan hewan (flora dan fauna), sungai, iklim, suhu, dan sebagainya.

Lingkungan alam sifatnya relatif menetap, oleh karena itu jenis lingkungan ini akan lebih mudah dikenal dan dipelajari oleh anak. Sesuai dengan kemampuannya, anak dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi dan dialami dalam kehidupan sehari-hari, termasuk juga proses terjadinya.

Dengan mempelajari lingkungan alam ini diharapkan anak akan lebih memahami gejala-gejala alam yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, lebih dari itu diharapkan juga dapat menumbuhkan kesadaran sejak awal untuk mencintai alam, dan mungkin juga anak bisa turut berpartisipasi untuk menjaga dan memelihara lingkungan alam.

    1. Lingkungan sosial

Selain lingkungan alam sebagaimana telah diuraikan di atas jenis lingkungan lain yang kaya akan informasi bagi anak usia dini yaitu lingkungan sosial.

Hal-hal yang bisa dipelajari oleh anak usia dini dalam kaitannya dengan pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar ini misalnya:

  1. mengenal adat istiadat dan kebiasaan penduduk setempat di mana anak tinggal.

  2. mengenal jenis-jenis mata pencaharian penduduk di sektiar tempat tinggal dan sekolah.

  3. Mengenal organisasi-organisasi sosial yang ada di masyarakat sekitar tempat tinggal dan sekolah.

  4. Mengenal kehidupan beragama yang dianut oleh penduduk sekitar tempat tinggal dan sekolah.

  5. Mengenal kebudayaan termasuk kesenian yang ada di sekitar tempat tinggal dan sekolah.

  6. Mengenal struktur pemerntahan setempat seperti RT, RW, desa atau kelurahan dan kecamatan.

Pemanfaatan lingkungan sosial sebagai sumber belajar dalam kegiatan pendidikan untuk anak usia dini sebaiknya dimulai dari lingkungan yang terkecil atau paling dekat dengan anak.

    1. Lingkungan budaya

Di samping lingkungan budaya dan lingkungan alam yang sifatnya alami, ada juga yang disebut lingkungan budaya atau buatan yakni lingkungan yang sengaja diciptakan atau dibangun manusia untuk tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Anak dapat mempelajari lingkungan buatan dari berbagai aspek seperti prosesnya, pemanfaatannya, fungsinya, pemeliharaannya, daya dukungnya, serta aspek lain yang berkenan dengan pembangunan dan kepentingan manusia dan masyarakat pada umumnya.

Agar penggunaan lingkungan ini efektif perlu disesuaikan dengan rencana kegiatan atau program yang ada. Dengan begitu, maka lingkungan ini dapat memperkaya dan memperjelas bahan ajar yang dipelajari dan bisa dijadikan sebagai laboratorium belajar anak.

  1. Prosedur Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar

Apabila kita menginginkan anak memperoleh hail belajar yang banyak dan bermakna dari sumber beajr lingkungan, maka kita perlu membuatan persiapan ayang matang. Tanpa persiapan belajar anak tidak akan terkendali dngan baik senhingga akan berpengaruh terhadap terjadinya tujuan pendidikan yang diharapkan.

Perlu kita ketahui bahwa ada tiga langkah prosedur yang bisa ditempuh dalam menggunakan lingkungan sebagai sumber belajar untuk anak usia dini ini yaitu :

    1. langkah perencanaan

    2. langkah pelaksanaan

    3. langkah tindak lanjut (follow up)

  1. Langkah Perencanaan

Perencanaan menempati bagian yang penting. Melalui perencanaan yang matang, yang disusun secara sistematik, dalam pola pemikiran yang menyeluruh akan memberi landasan yang kuat dalam melaksanakan kegiatanm-kegiatan pendidikan khususnya untuk anak usia dini.

Guru selaku pengelola kegiatan belajar harus mengetahui dan memahami tentang apa-apa yang harus direncanakan

LINGKUNGAN ALAM KE-5

REFLEKSI LINGKUNGAN HIDUP DISULAWESI UTARA

Refleksi kondisi lingkungan hidup Sulawesi Utara 2004


Oleh: Veronica A. Kumurur

Sudah kira-kira 1 bulan kita menikmati tahun 2005, dan banyak kejadian alam yang mengawali tahun 2005. Bencana gempa di Nabire Papua, bencana tanah longsor, bencana tsumani di Aceh dan terakhir bencana banjir yang nyaris melanda semua daerah di Indonesia. Banyak manusia-manusia yang mati akibat amukan alam. Mengapa semua ini terjadi? Ataukah memang kejadian ini memang sudah semestinya terjadi? Banyak analisa yang sudah dilakukan, dan sebagian besar analisa mengatakan bahwa memang kejadian ini mesti terjadi, dan memang semestinya kita menerima semua ini. Sebetulnya, jika kita merenungi dan menggelar kembali album kehidupan kita, sepertinya tidak ada potret-potret yang mengatakan bahwa manusia semakin bersahabat dengan alam tempat tinggalnya. Tak ada satupun potret cantik bagaimana manusia menghargai alam. Yang ada hanyalah gambar-gambar bagaimana manusia menghancurkan alam, merobah alam tanpa tanggungjawab, mencemari alam dengan bahan-bahan beracun tanpa peduli akibatnya bakal kemanusia juga. Kita manusia lupa bahwa alampun melakukan siklus hidup dan adaptasi seperti layaknya manusia hidup dan beradaptasi dengan tempat hidupnya. Kita manusia lupa bahwa alampun seringkali menangis dan menanti membalas dendamnya akibat dicampakkan manusia, dimana manusia menganggap alam itu mati dan tak memiliki roh kehidupan, manakala manusia tidak menghargai alam sebagai suatu kehidupan nyata.

Jika kita ingat bersama, diawal bumi diciptakan, manusia adalah makhluk yang termulia yang dititipkan penciptanya untuk menata atau mengelola buminya. Mengelola berarti me”manage” atau merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan melakukan evaluasi untuk setiap kegiatan yang akan dilakukan bagi bumi ini. Tujuannya adalah agar bumi ini tetap berlanjut dan memberikan kehidupan terus-menerus bagi manusia.

Sulawesi Utara (Sulut) adalah bagian dari bumi yang memerlukan pengelolaan baik terhadap alamnya atau sumberdaya alam, terhadap sumberdaya buatan maupun tata sosial manusia. Banyak kegiatan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi manusia semata yang terus bertumbuh di Sulawesi Utara. Kegiatan ini menjadi baik jika kepentingan ekonomi dan kepentingan terhadap kehidupan alam berimbang untuk diperhatikan. Namun apa yang terjadi? Kegiatan-kegiatan ekonomi yang merusak tatanan lingkungan hidup semakin menjadi primadona di wilayah ini. Sebetulnya kegiatan-kegiatan ini akan menjadi baik jika pengelolaannya baik pula.

Pencemaran Teluk Buyat, merupakan satu contoh nyata,suatu kegiatan yang tidak mementingkan kehidupan alam dan manusia. Kepentingan ekonomi menjadi tujuannya semata, walaupun sering dikamuflase dengan perusahaan yang beretika yang memiliki cara pengelolaan yang sangat baik. Padahal semua itu hanyalah tulisan diatas kertas, hanyalah suatu pernyataan idealisme yang konyol, hanyalah suatu pernyaan diri yang sombong dan tidak pernah merasa bersalah dengan kegiatan yang dilakukan. Teknologi bolehlah mereka bilang canggih, tapi kenyataan di alam (lapanganlah) yang menentukan semua itu. Dan kenyataannya akibat kegiatan perusahaan tambang emas raksasa ini perairan Teluk Buyat tercemar. Manusia-manusia di sekitar perusahaan ini menjadi korban pencemaran yang dilakukannya.
Mungkin benar, jika perusahaan tersebut selalu bertahan tidak melakukan kesalahan, padahal sudah sangat terbukti apa yang dilakukannya sudah merusak perairan Teluk Buyat. Karena, mana ada perusahaan yang selalu jaim (jaga image) mau mengaku dengan kesalahan yang telah diperbuatnya.

Sehingga yang patut disalahkan disini adalah Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sulawesi Utara, yang tidak melakukan uji “fit and proper test” pada perusahaan raksasa (PT. Newmont Minahasa Raya/NMR) untuk dinyatakan layak perusahaan ini berinvestasi di Sulawesi Utara Indonesia. Referensi tidak cukup untuk menyatakan kelayakan perusahaan. Kesalahan selanjutnya, pemerintah kita tidak melakukan suatu pengelolaan (proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi) yang baik terhadap perusahaan tersebut. Pemerintah kita terlalu mempercayai akan teknologi yang mereka tawarkan dan sodorkan, termasuk cara mereka membuang sampah (tailing) di kedalaman laut 82 meter (dianggap zona termoklin) di perairan Teluk Buyat, tanpa mengkaji apakah zona termoklin tersebut karena kedalaman ataukah karena adanya suhu tertentu yang permanen, sehingga tailing tidak akan mengambang ke zona rantai makanan. Pencemaran Perairan Teluk Buyat sudah terjadi dan efeknya terhadap manusia sekitarnya sudah terbukti. Tinggal menunggu bukti-bukti lain di masa datang atau 20-30 tahun lagi.

Kasus Buyat, merupakan kisah pengrusakan lingkungan yang cukup parah dibandingkan keuntungan yang diperoleh sebagian besar masyarakat Sulut. Kisahn ini juga merupakan suatu sebagian kegagalan Pemerintah Sulut mengelola lingkungan hidup di Sulawesi Utara. Seharusnya ini diakui sebagai suatu “case study” yang tidak bakal terulang lagi. Namun, ternyata masih ada kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan yang bakal terjadi dan kini menjadi gundah kita bersama. PT. Meares Soputan Mining, PT. Avocet yang kini siap melakukan ekploitasi dan pengolahan emas di bumi Sulawesi Utara dengan metode yang sama.
Nah, apakah laut sumber kehidupan kita harus kita relakan dikotori dan diracuni oleh bahan-bahan kimia yang dibuang perusahaan-perusahaan ini demi investasi dan pertumbuhan ekonomi yang hanya sejenak memberikan kenikmatan bagi sebagian manusia Indonesia dan Sulut, dibandingkan dengan akibat buruk yang bakal didapat hanya oleh manusia Sulawesi Utara yang bersifat permanen atau selamanya?

Ungkapan pilihan ini hanya mampu diutarakan melalui tulisan ini. Pilihan akan sangat bergantung pada Pemerintah Sulawesi Utara yang menjadi wakil masyarakat bumi Sulut. Bergantung pada moral, etika serta pemahamannya sebagai seorang pemimpin (leader) Sulut dalam melakukan pilihan untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat Sulut dari pada semata-mata “economy oriented”. Kemampuan seorang pemimpin membawa rakyatnya menuju suatu titik kemakmuran dengan sehat jasmani dan rohani dan memiliki generasi yang berlanjut serta kemampuan seorang pemimpin mengelola lingkungan Sulawesi Utara agar tetap berlanjut dan selalu memberi kehidupan bagi masyarakatnya.

Karena alam ini harus tetap hidup dan melakukan siklus kehidupan, demikian pula manusia. Maka, dengan mengelola lingkungan hidup (alam, buatan dan manusia) dapat meminimalkan dampak buruk dari bentuk penyesuaian diri alam (seperti penyesuaian bentuk bumi yang mengakibatkan gelombang tsunami). Pengelolaan dapat dilakukan dengan melakukan konservasi hutan bakau (untuk meminimalkan kekuatan gelombang tsunami), konservasi binatang liar (sebagai “natural early warning system”), menanam pohon di hulu sungai (menghindari banjir), serta tidak membuang sampah atau tailing ke dasar laut (menghindari tercemarnya rantai makanan dengan limbah B-3 yang sangat memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia).