REFLEKSI LINGKUNGAN HIDUP DISULAWESI UTARA
Refleksi kondisi lingkungan hidup Sulawesi Utara 2004
Oleh: Veronica A. Kumurur
Sudah kira-kira 1 bulan kita menikmati tahun 2005, dan banyak kejadian alam yang mengawali tahun 2005. Bencana gempa di Nabire Papua, bencana tanah longsor, bencana tsumani di Aceh dan terakhir bencana banjir yang nyaris melanda semua daerah di Indonesia. Banyak manusia-manusia yang mati akibat amukan alam. Mengapa semua ini terjadi? Ataukah memang kejadian ini memang sudah semestinya terjadi? Banyak analisa yang sudah dilakukan, dan sebagian besar analisa mengatakan bahwa memang kejadian ini mesti terjadi, dan memang semestinya kita menerima semua ini. Sebetulnya, jika kita merenungi dan menggelar kembali album kehidupan kita, sepertinya tidak ada potret-potret yang mengatakan bahwa manusia semakin bersahabat dengan alam tempat tinggalnya. Tak ada satupun potret cantik bagaimana manusia menghargai alam. Yang ada hanyalah gambar-gambar bagaimana manusia menghancurkan alam, merobah alam tanpa tanggungjawab, mencemari alam dengan bahan-bahan beracun tanpa peduli akibatnya bakal kemanusia juga. Kita manusia lupa bahwa alampun melakukan siklus hidup dan adaptasi seperti layaknya manusia hidup dan beradaptasi dengan tempat hidupnya. Kita manusia lupa bahwa alampun seringkali menangis dan menanti membalas dendamnya akibat dicampakkan manusia, dimana manusia menganggap alam itu mati dan tak memiliki roh kehidupan, manakala manusia tidak menghargai alam sebagai suatu kehidupan nyata.
Jika kita ingat bersama, diawal bumi diciptakan, manusia adalah makhluk yang termulia yang dititipkan penciptanya untuk menata atau mengelola buminya. Mengelola berarti me”manage” atau merencanakan, melaksanakan, mengawasi dan melakukan evaluasi untuk setiap kegiatan yang akan dilakukan bagi bumi ini. Tujuannya adalah agar bumi ini tetap berlanjut dan memberikan kehidupan terus-menerus bagi manusia.
Sulawesi Utara (Sulut) adalah bagian dari bumi yang memerlukan pengelolaan baik terhadap alamnya atau sumberdaya alam, terhadap sumberdaya buatan maupun tata sosial manusia. Banyak kegiatan yang berorientasi pada kepentingan ekonomi manusia semata yang terus bertumbuh di Sulawesi Utara. Kegiatan ini menjadi baik jika kepentingan ekonomi dan kepentingan terhadap kehidupan alam berimbang untuk diperhatikan. Namun apa yang terjadi? Kegiatan-kegiatan ekonomi yang merusak tatanan lingkungan hidup semakin menjadi primadona di wilayah ini. Sebetulnya kegiatan-kegiatan ini akan menjadi baik jika pengelolaannya baik pula.
Pencemaran Teluk Buyat, merupakan satu contoh nyata,suatu kegiatan yang tidak mementingkan kehidupan alam dan manusia. Kepentingan ekonomi menjadi tujuannya semata, walaupun sering dikamuflase dengan perusahaan yang beretika yang memiliki cara pengelolaan yang sangat baik. Padahal semua itu hanyalah tulisan diatas kertas, hanyalah suatu pernyataan idealisme yang konyol, hanyalah suatu pernyaan diri yang sombong dan tidak pernah merasa bersalah dengan kegiatan yang dilakukan. Teknologi bolehlah mereka bilang canggih, tapi kenyataan di alam (lapanganlah) yang menentukan semua itu. Dan kenyataannya akibat kegiatan perusahaan tambang emas raksasa ini perairan Teluk Buyat tercemar. Manusia-manusia di sekitar perusahaan ini menjadi korban pencemaran yang dilakukannya.
Mungkin benar, jika perusahaan tersebut selalu bertahan tidak melakukan kesalahan, padahal sudah sangat terbukti apa yang dilakukannya sudah merusak perairan Teluk Buyat. Karena, mana ada perusahaan yang selalu jaim (jaga image) mau mengaku dengan kesalahan yang telah diperbuatnya.
Sehingga yang patut disalahkan disini adalah Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sulawesi Utara, yang tidak melakukan uji “fit and proper test” pada perusahaan raksasa (PT. Newmont Minahasa Raya/NMR) untuk dinyatakan layak perusahaan ini berinvestasi di Sulawesi Utara Indonesia. Referensi tidak cukup untuk menyatakan kelayakan perusahaan. Kesalahan selanjutnya, pemerintah kita tidak melakukan suatu pengelolaan (proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi) yang baik terhadap perusahaan tersebut. Pemerintah kita terlalu mempercayai akan teknologi yang mereka tawarkan dan sodorkan, termasuk cara mereka membuang sampah (tailing) di kedalaman laut 82 meter (dianggap zona termoklin) di perairan Teluk Buyat, tanpa mengkaji apakah zona termoklin tersebut karena kedalaman ataukah karena adanya suhu tertentu yang permanen, sehingga tailing tidak akan mengambang ke zona rantai makanan. Pencemaran Perairan Teluk Buyat sudah terjadi dan efeknya terhadap manusia sekitarnya sudah terbukti. Tinggal menunggu bukti-bukti lain di masa datang atau 20-30 tahun lagi.
Kasus Buyat, merupakan kisah pengrusakan lingkungan yang cukup parah dibandingkan keuntungan yang diperoleh sebagian besar masyarakat Sulut. Kisahn ini juga merupakan suatu sebagian kegagalan Pemerintah Sulut mengelola lingkungan hidup di Sulawesi Utara. Seharusnya ini diakui sebagai suatu “case study” yang tidak bakal terulang lagi. Namun, ternyata masih ada kejadian-kejadian pengrusakan lingkungan yang bakal terjadi dan kini menjadi gundah kita bersama. PT. Meares Soputan Mining, PT. Avocet yang kini siap melakukan ekploitasi dan pengolahan emas di bumi Sulawesi Utara dengan metode yang sama.
Nah, apakah laut sumber kehidupan kita harus kita relakan dikotori dan diracuni oleh bahan-bahan kimia yang dibuang perusahaan-perusahaan ini demi investasi dan pertumbuhan ekonomi yang hanya sejenak memberikan kenikmatan bagi sebagian manusia Indonesia dan Sulut, dibandingkan dengan akibat buruk yang bakal didapat hanya oleh manusia Sulawesi Utara yang bersifat permanen atau selamanya?
Ungkapan pilihan ini hanya mampu diutarakan melalui tulisan ini. Pilihan akan sangat bergantung pada Pemerintah Sulawesi Utara yang menjadi wakil masyarakat bumi Sulut. Bergantung pada moral, etika serta pemahamannya sebagai seorang pemimpin (leader) Sulut dalam melakukan pilihan untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat Sulut dari pada semata-mata “economy oriented”. Kemampuan seorang pemimpin membawa rakyatnya menuju suatu titik kemakmuran dengan sehat jasmani dan rohani dan memiliki generasi yang berlanjut serta kemampuan seorang pemimpin mengelola lingkungan Sulawesi Utara agar tetap berlanjut dan selalu memberi kehidupan bagi masyarakatnya.
Karena alam ini harus tetap hidup dan melakukan siklus kehidupan, demikian pula manusia. Maka, dengan mengelola lingkungan hidup (alam, buatan dan manusia) dapat meminimalkan dampak buruk dari bentuk penyesuaian diri alam (seperti penyesuaian bentuk bumi yang mengakibatkan gelombang tsunami). Pengelolaan dapat dilakukan dengan melakukan konservasi hutan bakau (untuk meminimalkan kekuatan gelombang tsunami), konservasi binatang liar (sebagai “natural early warning system”), menanam pohon di hulu sungai (menghindari banjir), serta tidak membuang sampah atau tailing ke dasar laut (menghindari tercemarnya rantai makanan dengan limbah B-3 yang sangat memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar