Oleh : Hendrizal SIP
Beberapa waktu lalu diperingatkan, sejumlah pulau kecil di Indonesia diprediksi akan hilang pada 30 tahun mendatang akibat pemanasan global.
Kondisi alam, terutama laut, cukup mengkhawatirkan dengan naiknya suhu pemanasan global setiap tahun. Apalagi selama ini pulau-pulau kecil di Indonesia kurang terpelihara.
Demikian disampaikan Gubernur Sulawesi Utara, SH Sarundajang, sepulang mengikuti pertemuan menteri lingkungan hidup di Nairobi, Kenya. Pertemuan yang diprakarsai United Nation Environmental Program (UNEP), salah satu badan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), itu diikuti perwakilan 140 negara. Sarundajang hadir di pertemuan itu mendampingi Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar yang menjadi ketua dari pertemuan para menteri lingkungan hidup.
Dalam pertemuan itu, salah seorang pakar lingkungan India, Rajendra Pachauri, mengatakan, pemanasan global setiap tahun menaikkan permukaan laut yang berdampak tenggelamnya pulau-pulau kecil di dunia, termasuk di Indonesia. Pemanasan global juga berdampak pada jadwal tanam, pola tanam, serta hasil pertanian dan kehutanan secara besar-besaran. Fenomena itu sesungguhnya sudah dirasakan sebagian masyarakat Indonesia dengan terjadinya banjir akibat hujan tak beraturan.
Bangsa kita juga tampak tak sadar dengan peringatan ahli biologi Garrett Hardin dalam buku ‘Analyzing Social Problem, In the Environment as Social Issue’ (1994). Hardin mengemukakan, masalah lingkungan hidup bisa menjadi tragedy of the commons bila kita merasa bebas mengeksploitasinya. Ia menyatakan, ‘Kehancuran adalah satu-satunya tujuan yang dituju ketika semua orang yang berupaya keras mencapai kepentingannya dalam masyarakat percaya adanya kebebasan bagi semua orang. Kebebasan untuk menggunakan alam pada semua orang hanya akan membawa kau pada malapetaka’.
Tampaknya peringatan Hardin itu telah menimpa bangsa kita, seperti terjadinya banjir, banjir bandang, air bah, tanah longsor di berbagai daerah Nusantara. Di Jakarta, misalnya, banjir akbar yang telah meluluhlantakkan kota metropolitan ini pernah hampir membuat Jakarta menjadi kota mati suri. Banyak permukiman, perkantoran dan pusat bisnis terjebak dalam banjir. Infrastruktur publik seperti media telekomunikasi, transportasi dan listrik nyaris lumpuh.
Beberapa pakar lingkungan sesungguhnya telah mengingatkan, banjir bandang di Jakarta akan terjadi kalau para pelaku ekonomi tetap mengeksploitasi lingkungan dengan serampangan. Pendirian massal permukiman dan villa di daerah penyangga banjir seperti Bogor dan pembukaan area industri, perumahan dan pusat bisnis di daerah resapan air sekitar Bekasi, Tangerang dan Banten ditengarai sebagai penyebab meluapnya air di seantero Jakarta. Parahnya, nafsu investasi ini tak diiringi perluasan dan pendalaman aliran sungai.
Sebaliknya, terjadi pendirian pemukiman kumuh di bantaran kali yang juga memunculkan perilaku pembuangan sampah di sepanjang sungai. Hasilnya, air tumpah di mana-mana.
Kasus banjir yang menghantam wilayah-wilayah padat manusia di kawasan urban serta rural pun tak dapat lagi dipahami sederhana sebagai bencana, disaster atau katastrofa yang semata ditimbulkan alam. Situasi tragis itu pun mesti dipahami secara kolektif sebagai kesalahan umat manusia yang amat bercorak teknokratis. Singkatnya, kerusakan lingkungan akibat ulah manusia.
Tapi apa yang salah dengan ulah manusia? Sesungguhnya tidaklah mudah menjawabnya. Pertanyaan ini merefleksikan kompleksitas persoalan lingkungan. Para ahli sudah berbicara banyak tentang kesalahan pandangan dunia (world view) manusia di masa kini, sehingga terjadi pemerkosaan brutal terhadap lingkungan cuma untuk mewujudkan ambisi ekonomi dan politik. Logika instrumental dengan berbagai formatnya dirancang untuk mendukung brutalitas ekonomi dan politik itu. Celakanya, individu dan berbagai institusi terus-menerus memandang semua SDA sebagai benda tak bertuan yang bisa dieksploitasi bebas, kapan dan oleh siapa saja. Kenyataan inilah yang bisa menjelaskan mengapa degradasi lingkungan bisa sampai ke titik nadir di berbagai penjuru bumi, termasuk di negeri kita, akibat beroperasinya aktivitas industri selama satu generasi.
Perilaku tadi lahir karena kita kurang sadar pentingnya nilai ekonomi lingkungan. Bangsa kita hanya terus-menerus menghitung nilai ekonomi investasi tanpa mau tahu kerusakan yang akan ditimbulkannya. Irantoto Handadhan (2004) telah mendeskripsikan nilai ekonomi lingkungan sebagai kuantifikasi berapa nilai rupiah kerusakan lingkungan karena kegiatan pembangunan, berapa rupiah yang dibutuhkan untuk memperbaikinya, dan berapa nilai kemanfaatan ekonomi jika lingkungan itu dijaga atau diperbaiki.
Sedemikian pentingnya nilai ekonomi lingkungan telah menarik perhatian para auditor pada 2001 seperti Irawan. Auditor BPK RI ini mengembangkan penerapan environmental costing di Indonesia yaitu penentuan biaya lingkungan secara detail sesuai konsep akuntansi. Pakar lingkungan seperti Prof Emil Salim bahkan memperhatikan tidak cuma kerusakan lingkungan tapi juga dampak gangguan sosial yang terjadi akibat suatu proyek seperti konflik lahan antara investor dengan masyarakat sekitar.
Prof Hasyim Djalal dalam acara diskusi di The Habibie Center yang disiarkan QTV (15-5-2007) menginformasikan, biaya untuk merehabilitasi Pulau Nipah yang banyak dikeruk pasirnya untuk diekspor ke Singapura bisa mencapai Rp 250 miliar. Sementara pendapatan pemerintahan daerah di sana hanya Rp 8 miliar setahun dari ekspor pasir tersebut. Ini tentu hanya membuat kerugian yang besar bagi negara kita. Apalagi kalau sampai pulau itu tenggelam gara-gara dieksploitasi pasirnya, maka batas negara kita akan bergeser ke dalam, menciut.
Pembangunan Padang Golf
Polemik kasus lingkungan pembangunan padang golf dan agrowisata di Puncak pada 1993 juga perlu menjadi bahan renungan. Pembangunan lahan 700 hektare yang menjanjikan pajak Rp 4 miliar setahun tersebut akhirnya harus diperbandingkan dengan nilai kerusakan lingkungan berupa menurunnya hasil air yang menurut perhitungan teknis mencapai sekitar 5 juta meter kubik setahun, erosi tanah 211 ton per hektar per tahun, limpasan run off 18 juta meter kubik setahun yang merusak dan memperbesar bahaya banjir di Jakarta yang saat ini terjadi. Kerusakan material akibat banjir di Jakarta mencapai triliunan rupiah serta aktivitas perdagangan, pendidikan dan pemerintahan sontak terhenti.
Begitu pula air tanah yang hilang karena keringnya sumber mata air. Kalau dikomersialkan sebagai air mineral dengan nilai serendah Rp 100 per liter pada waktu itu bisa bernilai Rp 500 miliar per tahun dengan asumsi di daerah puncak terdapat beberapa sumber mata air yang diperkirakan mengalir dengan debit 4.280.000 m3. Alhasil, proyek itu malah hanya menjadi kerugian nilai lingkungan yang amat besar, jauh melampaui nilai pajak yang dihasilkannya. Tapi kerugian lingkungan itu tak pernah diungkapkan dalam rupiah lantaran silau dengan keuntungan investasi.
Apakah pernah diperhitungkan dampak kerusakan lingkungan akibat pembangunan jalan tol Jagorawi yang oleh pemerintah dan investor dikatakan amat menguntungkan. Kini kita baru sadar, jalan itu sudah memacu kerusakan lingkungan Bogor-Puncak-Cianjur yang mengganggu area pertanian dan peresapan air. Akibat hujan deras beberapa hari saja, longsor dan peretakan tanah terjadi di jalur tersebut yang ditengarai juga membuat banjir datang begitu cepat menenggelamkan sebagian kota metropolis.
Mengingat itu, kesadaran pentingnya environmental governance perlu menjadi renungan. Teguh Kurniawan, peneliti Center for Indonesia Regional and Urban Studies (CIRUS), mengatakan environmental governance adalah nilai-nilai dan norma yang memandu hubungan antara negara-masyarakat dalam penggunaan, pengawasan dan manajemen dari lingkungan alam sehingga tingkah laku publik dan swasta berorientasi ekologis. Bagus lagi kalau investasi diletakkan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yaitu mengaitkan kebijakan ekonomi dengan aspek lingkungan dan sosial.
Implementasi environmental governance bisa dilakukan lewat 3 tahapan: (a) Menyadarkan aktor utama dan aktor potensial pembuat kebijakan untuk peduli pentingnya isu-isu lingkungan sebagai agenda politik. (b) Membentuk mekanisme agar pengambil kebijakan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) menggunakan kewenangan terhadap SDA secara bijak, transparan, akuntabel, representatif dan partisipatif.
(c) Membentuk suatu mekanisme efektif supaya kebijakan lingkungan dapat berjalan konsisten serta menjamin hak dan kesejahteraan rakyat. Singkatnya, perilaku bersahabat dengan lingkungan bisa terinternalisasi dalam pembuatan dan implementasi setiap kebijakan publik berikut penegakkan hukumnya pada semua warga.
Sebelum terlanjur hancur, kita perlu bercermin dari kasus Minamata di Jepang di mana lingkungan tercemar akibat pendirian banyak pabrik tahun 1970. Bencana ini sudah menyadarkan akan urgensi memelihara lingkungan hidup bagi segenap elemen bangsa Jepang, baikpemerintah, pengusaha, masyarakat dan ilmuwan. Jadi bukannya malah mengeksploitasi SDA dan lingkungan hidup secara maksimal.
Mudah-mudahan itu bisa menyadarkan kita: alam ini merupakan suatu yang ‘hidup’ dengan nilai ekonomi luar biasa. Manusia harus bergaul dengan alam secara bijak supaya mendapat kemanfaatan SDA dan lingkungan hidup secara positif dan konstruktif. Bukannya destruktif seperti yang kita lakukan selama ini. Sadarlah!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar